ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (2)
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Tujuan mereka sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi kebenaran islam dan hendak mencela Rasululloh dengan menyatakan beliau memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasululloh dengan slogan yang tanpak luarnya rahmat dan ilmiyah namun menyimpan dendam kusumat dan penipuan besar serta kepandiran. Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fata morgana, tujuannya hanya satu menghancurkan islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairoh dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam. Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairoh yang terdzolimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara tuduhan dan kecaman yang dilontarkan dengan dzolim oleh para musuh Islam adalah.
6. Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain.
Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits dizaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairoh. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu.
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairoh, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhori, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shohih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhori memasukkan 9 hadits, muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shohih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairoh seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairoh dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SAW wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya.
apa jawabanya??
Jawabannya:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairoh berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Namun itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairoh. sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairoh berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang ahlu sunnah wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apa bila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab ra berkata kepada Abu Hurairah ra: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar ra itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Saw), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar ra kepada hadits-hadits Rasul Saw. Kemudian pernyataan Umar ra sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar ra kepada Abu Hurairah ra dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar ra, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Saw. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah ra itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah ra menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hunairah ra itu tidak shahih menurut pandangan Umar ra, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah ra dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairoh, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah ra, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,”Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Saw tentang tato?” Abu Hurairah ra berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata,”Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar ra bertanya,”Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah ra menjawab,”Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato.”.
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
Tidak Abu Hurairoh membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari rasululloh memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang sholat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan sholat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.”
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah ra tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah ra tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah ra meninggalkan tempat sebelum ia ra selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat. Perkataan Aisyah ra “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairoh atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairoh sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairoh, bahwa beliau mendengar Rasululloh n bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam krikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai dating utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ‘’A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairoh’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.
Sedangkan pernyataan imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairoh:
Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali ra menuduh Abu Hurairah ra telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah ra berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah ra, (maka) Ali ra berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Saw ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah. Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali ra, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah ra.
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah ra, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah ra memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah. Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairoh banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti kholifah Al Rasyidin.
Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairoh dengan riwayat khulafa’ Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Memang benar bahwa Khulafa’ Al Rasyidin telah mendahului Abu Hurairoh dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Kholid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasulullloh karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairoh dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
2. Abu Hurairoh meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau khulafa’ Al Rasyidin tidak benar.
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairoh sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairoh berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Saw selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Saw. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Saw, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Saw satu kalimat yang Beliau Saw ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku”.
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi n ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Saw sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah ra. Lihatlah, Al Farouq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata:
“Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Saw. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau ra semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah ra yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah ra. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah ra mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah ra yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Saw, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Saw adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum. Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka. Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Saw, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Saw dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Saw (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Saw. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Saw (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Saw) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Saw untuk melayani Beliau Saw. Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Saw lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah ra memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Saw, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar ra hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar ra, pada masa Abu Bakar ra, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar ra ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal ra mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata,”Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz ra menjawab,”Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat. Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang. Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairoh dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairoh yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasululloh n selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairoh. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam AL Zuhriy, Sya’biy dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusiy? Jadi hafalan Abu Hurairoh bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shohih. Sehingga Abu Hurairoh tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairoh menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasululloh selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairoh bersahabat dengan Nabi n di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa social, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairoh masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khothib dalam kitab Al Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shohihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairoh hanya karena ingin menolak hadits beliau. Karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut alirat sesat Jahmiyah (pen)) yang mendengar hadits-hadits beliau yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairoh dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya dalam rangka membuat opini pada orang awam dan rendahan bahwa hadits-hadits beliau tidak benar. Adakalanya ia seorang khowatij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan tidak memandang kewajiban mentaati kholifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairoh dari Nabi n menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat cara menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah maka ujungnya mencela Abu Hurairoh. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan islam dan kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditakdirkan Allah dahulu dan tetapkan sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka hujahnya adalah menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairoh tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya, jika mendengar berita Abu Hurairoh menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya dengan taklid tanpa hujjah, maka mencela Abu Hurairoh dan menolak hadits-haditsnya yang menyelisihi madzhab mereka dan berhujah dengan hadits-hadits Abu Hurairoh atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya!!!.
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[34]. Saqifah op.cit hlm 14.
[35]. Lihat Abu Hurairoh dalam pengakuan para sahabat dan mabhas edisi ini.
[36]. Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
[37]. Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
[38]. Al Bukhari, dalam Shohihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
[39]. Muslim, dalam shohihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
[40]. Fathul Bari, VII/389-390.
[41]. Muslim dalam shohihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
[42]. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
[43]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
[44]. Ibid hlm 87 dengan perubahan.
[45]. Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
[46]. Al Bukhari,dalam shohihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 - III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
[47]. Al Musnad, XIV/122.
[48]. Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
[49]. Muslim, VI/179.
[50]. Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
[51]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
[52]. Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
[53]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
[54]. Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
[55]. Assunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Tujuan mereka sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi kebenaran islam dan hendak mencela Rasululloh dengan menyatakan beliau memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasululloh dengan slogan yang tanpak luarnya rahmat dan ilmiyah namun menyimpan dendam kusumat dan penipuan besar serta kepandiran. Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fata morgana, tujuannya hanya satu menghancurkan islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairoh dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam. Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairoh yang terdzolimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara tuduhan dan kecaman yang dilontarkan dengan dzolim oleh para musuh Islam adalah.
6. Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain.
Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits dizaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairoh. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu.
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairoh, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhori, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shohih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhori memasukkan 9 hadits, muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shohih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairoh seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairoh dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SAW wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya.
apa jawabanya??
Jawabannya:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairoh berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Namun itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairoh. sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairoh berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang ahlu sunnah wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apa bila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab ra berkata kepada Abu Hurairah ra: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar ra itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Saw), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar ra kepada hadits-hadits Rasul Saw. Kemudian pernyataan Umar ra sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar ra kepada Abu Hurairah ra dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar ra, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Saw. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah ra itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah ra menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hunairah ra itu tidak shahih menurut pandangan Umar ra, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah ra dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairoh, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah ra, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,”Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Saw tentang tato?” Abu Hurairah ra berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata,”Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar ra bertanya,”Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah ra menjawab,”Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato.”.
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
Tidak Abu Hurairoh membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari rasululloh memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang sholat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan sholat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.”
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah ra tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah ra tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah ra meninggalkan tempat sebelum ia ra selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat. Perkataan Aisyah ra “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairoh atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairoh sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairoh, bahwa beliau mendengar Rasululloh n bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam krikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai dating utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ‘’A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairoh’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.
Sedangkan pernyataan imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairoh:
Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali ra menuduh Abu Hurairah ra telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah ra berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah ra, (maka) Ali ra berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Saw ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah. Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali ra, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah ra.
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah ra, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah ra memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah. Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairoh banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti kholifah Al Rasyidin.
Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairoh dengan riwayat khulafa’ Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Memang benar bahwa Khulafa’ Al Rasyidin telah mendahului Abu Hurairoh dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Kholid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasulullloh karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairoh dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
2. Abu Hurairoh meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau khulafa’ Al Rasyidin tidak benar.
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairoh sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairoh berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Saw selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Saw. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Saw, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Saw satu kalimat yang Beliau Saw ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku”.
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi n ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Saw sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah ra. Lihatlah, Al Farouq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata:
“Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Saw. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau ra semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah ra yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah ra. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah ra mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah ra yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Saw, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Saw adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum. Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka. Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Saw, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Saw dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Saw (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Saw. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Saw (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Saw) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Saw untuk melayani Beliau Saw. Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Saw lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah ra memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Saw, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar ra hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar ra, pada masa Abu Bakar ra, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar ra ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal ra mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata,”Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz ra menjawab,”Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat. Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang. Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairoh dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairoh yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasululloh n selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairoh. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam AL Zuhriy, Sya’biy dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusiy? Jadi hafalan Abu Hurairoh bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shohih. Sehingga Abu Hurairoh tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairoh menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasululloh selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairoh bersahabat dengan Nabi n di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa social, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairoh masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khothib dalam kitab Al Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shohihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairoh hanya karena ingin menolak hadits beliau. Karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut alirat sesat Jahmiyah (pen)) yang mendengar hadits-hadits beliau yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairoh dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya dalam rangka membuat opini pada orang awam dan rendahan bahwa hadits-hadits beliau tidak benar. Adakalanya ia seorang khowatij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan tidak memandang kewajiban mentaati kholifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairoh dari Nabi n menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat cara menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah maka ujungnya mencela Abu Hurairoh. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan islam dan kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditakdirkan Allah dahulu dan tetapkan sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka hujahnya adalah menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairoh tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya, jika mendengar berita Abu Hurairoh menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya dengan taklid tanpa hujjah, maka mencela Abu Hurairoh dan menolak hadits-haditsnya yang menyelisihi madzhab mereka dan berhujah dengan hadits-hadits Abu Hurairoh atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya!!!.
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[34]. Saqifah op.cit hlm 14.
[35]. Lihat Abu Hurairoh dalam pengakuan para sahabat dan mabhas edisi ini.
[36]. Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
[37]. Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
[38]. Al Bukhari, dalam Shohihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
[39]. Muslim, dalam shohihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
[40]. Fathul Bari, VII/389-390.
[41]. Muslim dalam shohihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
[42]. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
[43]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
[44]. Ibid hlm 87 dengan perubahan.
[45]. Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
[46]. Al Bukhari,dalam shohihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 - III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
[47]. Al Musnad, XIV/122.
[48]. Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
[49]. Muslim, VI/179.
[50]. Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
[51]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
[52]. Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
[53]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
[54]. Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
[55]. Assunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Posting Komentar